Rheumatic Artritis


BAB 3
PEMBAHASAN


3.1 Definisi Artritis rhematoid :
Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut. ( Susan Martin Tucker.1998 ), Artritis Reumatoid ( AR ) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan ( Diane C. Baughman. 2000 )
 Arthritis rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh oragan tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien-pasien arthritis rheumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifaf progresifnya. Pasien dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah, atau gangguan nonartikular lain ( Arif Mansjour. 2001 ).


3.2. Insiden :
AR terjadi antara usia 30 tahun dan 50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40 tahun dan 60 tahun. Wanita terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria.

 3.3. Etiologi :
AR adalah suatu penyakit otoimun yang timbul pada individu – individu yang rentang setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak diketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mikoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigenis. Biasanya respon antibodi awal terhadap mikro-organisme diperantarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil mengancurkan mikro-organisme, namun individu yang mengidap AR mulai membentuk antibodi lain biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi Ig G semula. Antibodi ynng ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR menetap di kapsul sendi, dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun. Menurut soeparman (1998) hingga kini penyebab Reumatoid Artritis belum diketahui,tetapi beberapa faktor mempengruhi:
1.      Gentik(keturunan)
2.      Umur di atas 40 tahun
3.      Infeksi

3.3 Patogenesis :
Patogenesis penyakit ini terjadi akibat rantai peristiwa imunologi yang menyebabkan proses destruksi sendi. Berhubungan dengan factor genetic, hormonal, infeksi, dan heat shock protein. Penyakit ini lebih banyak mengenai wanita daripada pria, terutama pada usia subur.

3.4 Manifestasi klinis :
Kriteria dari America rheumatism association (ARA) ayng direvisi tahun   1987, adalah:
1.      Kaku pada pagi hari (morning stiffness). Pasien merasa kaku pada persendian dan di sekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2.      Arthritis pada 3 daerah, terjadi pembengkakan jaringan lunak atau persendian (soft tissue swelling) atau lebih efusi, bukan pembesaran tulang (hyperostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendiaan yang memenuhi criteria yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki dan metatarsofalang kiri dan kanan.
3.      Arthritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas.
4.      Arthritis simetris, maksudnya keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak (symmetrical polyarthritis simultaneously).
5.      Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikular dalam observasi seorang dokter.
6.      Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal factor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5 % kelompok control.
7.      Terdapat perubahan gambaran radiologist yang khas pada pemeriksaan sinar roentgen tangan posteroanterior atau pergelangan tangan, yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.

Diagnosis arthritis reumatoid ditegakkan jika sekurang-kurangnya terpenuhi 4 dari 7 kriteria di atas, kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6 minggu.

3.5 Komplikasi :
Kelainan system perencanaan yang sering dijumpai adalah gastritirs dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi factor penyebab mordibitas dan mortalitas utama pada arthritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan anatara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemi akibat vaskulitis.




3.6 Pemeriksaan penunjang :
Tidak banyak berperan dalam diagnosisi arthritis rheumatoid, namun dapat menyokong bila trerdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat :
1.      Tes factor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien arthritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberculosis paru, sirosis hepatic, hepatitis infeksiosa, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
2.      Protein C-reaktif biasanya positif.
3.      LED meningkat.
4.      Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5.      Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6.      Trombosit meningkat.
7.      Kadar albumin serum turun dan globulin naik.

Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena tapi yang tersering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular, kemudian terjadi penyempitan ruang sendi dan erosi.
Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)
1.   Tes serologik :
(a) faktor rematoid – 70% pasien bersifat seronegatif.
Catatan: 100% dengan factor rematoid yang positif jika terdapat nodul atas indroma Sjogren
(b) Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20  kasus.

2.  Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang    dapat  di temukan adalah:
      (a) Pembekakan jaringan lunak;        
      (b) Penympitan rongga sendi
      (c) Erosi sendi;
      (d) Osteoporosis juksta artikuler.

 Untuk menilai aktivitas penyakit:
1.   Erosi progresif pada foto sinar X serial.
2.   LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada artritis reumatoid meliputi :
(a)  penyakit aktif ;
(b)  amiloidosis ;
(c)  infeksi ;
(d)  sindroma Sjorgen ;
3.  Anemia – berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan dengan  aktifitas.
4.  Titer factor rematoid – makin tinggi titernya makin mungkin terdapat kelainan ekstra artikuler. Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.

3.7  Penatalaksanaan :
1.      Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungann baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
2.      OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan :
a. Aspirin : pasien dibawah 65 tahun dapat mulai dengan dosis
 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b.Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3.   DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthritis rheumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses rheumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis arthritis rheumatoid ditegakkan, atau bila respons OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka. Jenis-jenis yang digunakan adalah :
a.       klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah disbanding dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b.      Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1x500 mg. setelah remisi tercapai, dosiss dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurana. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain atua dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c.       D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu  sebesar 250-300mg/hari untuk mencapai dosis total 4x250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis dan pemfigus.
d.      Garam emas adalah gold standar bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (intramuscular) dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. seminggu kemudian diberikan dosisi penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang belakang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2x3 mg. efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e.       Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relative pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan, penggunaan siklosporin untuk arthritis rheumatoid masih dalam penelitian.
f.       Kortikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan arthritis  rheumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosisi rendah (seperti prednisone 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya infeksi harus disingkarkan terlebih dahulu.

3.      Rehabilitasi
Bertujuan untuk meningkarkan kualitas hidup pasien. Caranya antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan, pemanasan dan sebagainya. Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang atau minimal. Bila tidak juga berhasil, mungkin diperlukan pertimbangan untuk tindakan operatif. Sering pula diperlukan alat-alat., karena itu pengertian tentang rehabilitasi termasuk :
a.       Pemakaian alat bidai, tongkat/tongkat penyangga., walking machine, kursi roda, sepatu dan alat.
b.      Alat ortotik protetik lainnya.
c.       Terapi mekanik.
d.      Pemanasan: baik hidroterapi maupun elektroterapi.
e.       Occupational therapy.

4.      Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alas an yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien artritis rheumatoid umumnya bersifat ortopedik, misalnmya sinovektomi, artrodesis, total hip replacement, memoerbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

Untuk menilai kemajuan pengobatan dipakai parameter:
1.      Lamanya morning stiffness.
2.      Banyaknya sendi yang nyeri bila digerakkan atau berjalan.
3.      Kekuatan menggemgam (dinilai dengan tensimeter).
4.      Waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15 meter.
5.      Peningkatan LED.
6.      Jumlah obat-obat yang digunakan.

Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan latihan, dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.
1.   AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat   atau obat – obat antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS ); antimalaria emas, penisilamin, atau sulfasalazin, metotreksat; analgetik selama periode nyeri hebat.
2.   AR sedang , erosit: program formal terapi okupasi dan terapi fisik.
3.   AR persisten, erisif; pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.
4.   AR tahap lanjut yang tak pulih: preparat immunosupresif, seperti metotreksat, siklosfosfamid, dan azatioprin.
5.   Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu makan dan menyebabkan penambahan berat badan ). 


3.8 Prognosis :
Perjalanan penyakit artritis rheumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50-75% pasien artritis rheumatoid akan mengalami remisi dalam 2 tahun. Selebihnya akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumnya meninggal 10-15 tahun lebih cepat daripada orang tanpa artritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi, penyakit jantung, gagal pernafasan,gagal ginjal dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan, dengan manifestasi ekstraartikular, dan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan ini memerlukan terapi secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.

3.9. Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya sinovasi pada setiap sendi, perhatian juga hal –hal berikut ini :
1.   Keadaan umum – komplikasi steroid, berat badan.
2.   Tangan – meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.
3.   Lengan – siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar limfe aksila.
4.   Wajah. Periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis, skleromalasia perforans, katarak, anemia dan tanda – tanda hiperviskositas pada fundus. Kelenjar parotis membesar ( sindroma Sjogren ). Mulut ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak, sendi temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak menyebabkan iritasi.
5.   Leher – adanya tanda – tanda terkenanya tulang servikal.
6.   Toraks. Jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi katup aorta dan mitral ). Paru – paru ( adanya efusi pleural, fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).
7.   Abdomen – adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik.
8.   Panggul dan lutut.
9.   Tungkai bawah – adanya ulkus, pembengkakan betis (kista Baker yang reptur) neuropati, mononeuritis  multipleks dan tanda – tanda kompresi medulla spinalis.
10. Kaki.
11. Urinalisis untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk menentukan adanya darah.


3.10  Evaluasi diagnosis :
1.   Beberapa faktor yang menujang diagnosa AR: nodulus reumatoid, inflamasi sendi, temuan laboraturium.
2.   Faktor reumatoid ( FR ) terdapat lebih dari 80% pada darah pasien.
3.   Jumlah sel darah merah dan komponen komplemen C4 menurun.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges E Marilynn, 2000., Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta:EGC
Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit. Jakarta: FKUI.
Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculaapius. Jakarta:FKUI
Prince, Sylvia Anderson, 1999., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit., Ed.4. Jakarta: EGC
Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC




0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © the Life is Color